Kesejahteraan Psikologis Karyawan Outsorcing: Peran Job Insecurity dan Keluarga

Tenaga kerja outsorcing berarti memiliki kontrak kerja dengan masa kerja yang singakt dan terbatas. Status sebagai karyawan outsoring seringkali meninbulkan perasaan tidak aman pada pekerja karena setiap saat dirinya dapat kehilangan pekerjaan. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk meningkatkan karir di perusahaan dan memiliki hak-hak ketenagakerjaan lain yang terbatas. Kondisi pekerjaan yang demikian, dapat membuat karyawan kurang sejahtera secara psikologis.

Kesejahteraan psikologis berarti kondisi karyawan mampu membangun hubungan yang positif dengan orang lain, mengenali potensi dirinya, merasa otonom dalam hidupnya, memiliki makna hidup dan punya tujuan hidup yang jelas. Karyawan yang sejahtera psikologisnya akan dapat menerima dirinya dan masa lalunya, dapat mengatur kehidupan dan lingkungannya, serta mengembangkan potensi yang dimiliki. Kondisi ini menunjukkan tingkat kesehatan mental individu yang memungkinkan karyawan menjalani kehidupannya dengan perasaan bahagia dan merasa puas dengan kehidupan yang dijalani. Kondisi ini tentu sangat diidamkan bagi semua orang termasuk pada pekerja outsorcing.

Namun demikian, kesejahteraan psikologis para pekerja ini ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat perasaan aman akan status pekerjaan dan dukungan keluarga. Perasaan aman dengan pekerjaan berarti seberapa besar karyawana merasa yakin akan kelangsungan pekerjaannya. Semakin besar tingkat rasa aman akan semakin tinggi kesejahteraan psikologis karyawan. Sebaliknya semakin rendah tingkat rasa aman mengenai status pekerjaannya maka akan semakin rendah pula tingkat kesejahteraan psikologis.

Dukungan keluarga berarti segala hal yang diberikan oleh anggota keluarga kepada karyawan. Anggota keluarga termasuk di dalamnya orangtua, pasangan hidup, saudara kandung, keluarga dari pasangan, atau anak. Dukungan dapat berupa materi atau fasilitas yang dibutuhkan, bantuan finansial, dukungan emosional, serta pemdampingan. Materi atau fasilitas dapat berupa segala hal benda atau fasilitas yang dapat digunakan karyawan untuk menjalankan tugasnya di pekerjaan. Finansial berarati bantuan berupa uang yang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan hidupnya. Dukungan emosional dapat berupa sikap menghargai, memberi penguatan, memberi saran atau nasehat, serta motivasi kepada karyawan dalam menghadapi berbagai situasi dalam pekerjaannya.  Selain itu, dukungan pendampingan adalah kesediaan anggota keluarga dalam menemani atau memberikan waktu untuk bersama-sama melakukan sesuatu.

Riset menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan keluarga maka akan semakin sejahtera psikologis karyawan. Artinya, semakin banyak bantuan yang didapatkan dari keluarga maka karyawan akan semakin merasa hubungan sosialnya memuaskan, dapat memutuskan untuk hidupanya, memahami apa yang dapat dilakukan, dan yakin dengan cita-cita dan apa yang bernilai dalam hidupnya. Sebaliknya, semakin sedikit materi, uang, simpati, serta waktu yang diberikan oleh keluarga, maka karyawan merasa kurang puas dengan relasi sosialnya, kurang mandiri dalam mengambil keputusan, ragu dengan kemampuannya, serta tidak memiliki cita-cita yangj jelas yang ingin diperjuangkan.

Sulaiman, et al (2023). Pengaruh Job Insecurity dan Dukungan Keluarga terhadap Psychological Well Being pada Karyawan Outsorcing PT. BPJS Cabang Medan. Tesis. Universitas Medan Area: Medan

 

Minat dan Motivasi Belajar Siswa

Belajar merupakan tugas dan kewajiban dari setiap siswa sekolah. Belajar merupakan kegiatan terencana dan terstruktur yang bertujuan untuk menghasilkan perubahan menetap pada siswa. Dengan belajar, siswa mendapatkan perubahan pengetahuan, sikap maupun keterampilan. Hasil dari kegiatan belajar dapat diukur untuk menilai apakah proses belajar telah terjadi. Guru memberikan soal latihan, ulangan, quiz, tugas, ataupun ujian untuk menilai apakah tujuan belajar yang ditetapkan telah tercapai. Hasil belajar dapat disebut prestasi belajar yang biasanya dituliskan dalam bentuk nilai prestasi.

Tinggi rendahnya prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh banyak macam faktor. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari dalam diri siswa dan dapat pula berasal dari lingkungan. Faktor dari dalam diri siswa sering disebut faktor internal, sedangkan faktor dari lingkungan disebut faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor penentu prestasi belajar yang seringkali dapat dikontrol dan dikendalikan oleh siswa. Salah satu faktor yang menentukan prestasi belajar adalah minat belajar. Minat belajar merupakan tingkat ketertarikan siswa untuk belajar materi tertentu. Minat belajar dapat dinilai dari aspek kognitif, afektif, dan konatif. Dari aspek kognitif berarti siswa yang berminat akan berusaha memahami materi pelajaran yang diberikan. Aspek afektif berarti bahwa siswa yang berminat belajar akan merasa senang dan menikmati kegiatan belajar yang dijalani. Sedangkan aspek konatif berarti siswa yang berminat akan melakukan kegiatan yang diminta oleh guru selama proses belajar. Sebaliknya, siswa yang tidak berminat belajar akan menunjukkan keengganan untuk memahami, merasa tidak nyaman atau tertekan, serta tidak melakukan kegiatan belajar yang diharapkan.

Faktor lain yang mempengaruhi prestasi belajar adalah motivasi belajar. Motivasi belajar adalah suatu dorongan yang dimiliki siswa untuk melakukan usaha belajar. Siswa yang memiliki motivasi tinggi dalam belajar akan menunjukkan perilaku memiliki alasan untuk belajar, adanya hasrat untuk belajar, memiliki tujuan yang ingin dicapai, memberi penghargaan atas hasil belajarnya, lingkungan yang mendukung belajar, serta merasa senang saat belajar. Sebaliknya siswa yang motivasi belajarnya rendah tidak memiliki tujuan belajar yang ingin dicapai, tidak memiliki alasan yang kuat untuk belajar, tidak ada keinginan belajar, menganggap hasil belajar sebagai hal yang tidak penting, lingkungan kurang mendukung, serta tidak menikmati kegiatan belajar.

Minat dan motivasi belajar ini merupakan kondisi yang juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan. Diantaranya adalah media belajar dan teknik belajar. Media belajar merupakan sarana penyajian bahan ajar kepada siswa. Media belajar dapat berbentuk tatap muka langsung (luar jaringan atau luring) dan dapat pula bersifat jarak jauh (dalam jaringan atau daring). Media belajar yang berbeda menuntut persiapan dan metode mengajar yang berbeda dari guru. Dalam proses belajar tatap muka secara langsung, guru dapat berinteraksi lebih leluasa dan memberikan informasi lebih jelas kepada siswa. Tidak ada kendala jaringan yang dapat mengganggu proses pertukarang informasi. Guru juga dapat memanfaatkan sejumlah alat peraga, melakukan demonstrasi, memberi kesempatan praktek, memberi kesempatan bertanya saat siswa menemukan kesulitan, dan menggunakan aspek komunikasi non verbal secara lebih optimal dalam memberikan informasi. Dengan media belajar luring, siswa dapat lebih berminat dan termotivasi karena beragamnya metode mengajar dan interaksi yang lebih intensif.

Proses belajar jarak jauh memiliki keterbatasan karena media komunikasi terbatas pada jendela komunikasi virtual. Siswa tidak dapat menyaksikan seluruh aktivitas guru saat menjelaskan karena yang tampil di layar hanya wajah guru. Demikian pula guru tidak dapat mengamati keseluruhan aktivitas belajar siswanya selama kegiatan belajar. Komunikasi mungkin terganggu oleh masalah jaringan dan membutuhkan waktu untuk proses transfer informasi. Guru juga kesulitan dalam menggunakan metode belajar tertentu misalnya demonstrasi, tanya jawab, praktek, dan lain sebagainya. Hal ini dapat mengakibatkan proses belajar menjadi kurang menarik dan melelahkan bagi siswa karena kegiatan hanya didominasi oleh metode ceramah dan penugasan di rumah. Dengan demikian, media belajar daring dapat mempengaruhi rendahnya minat dan motivasi belajar siswa.

Namun demikian, media belajar yang berbeda jika diaplikasikan dengan metode mengajar yang sama, dapat menghasiilkan efek yang sama saja bagi siswa. Kenyataannya, jika guru yang mengajar dengan media luring lebih banyak menggunakan metode ceramah dan penugasan, kurang memberi kesempatan bertanya, kurang menggunakan ilustrasi dan alat peraga, kurang memberikan demonstrasi atau praktek pada siswa, maka siswa menilai proses belajar menjadi kurang menarik. Siswa akan menilai bahwa belajar tatap muka atau jarak jauh akan sama membosankannya. Dengan demikian, media belajar yang berbeda hanya akan menimbulkan minat dan motivas belajar yang berbeda jika ditunjang dengan metode mengajar yang menarik. Sebaliknya, media belajar daring pun dapat menjadi menyenangkan bagi siswa jika guru menggunakan sumber daya belajar yang optimal.

Selain metode mengajar yang menarik dan beragam, teknik belajar yang digunakan juga akan menentukan minat dan motivasi belajar siswa. Teknik belajar yang memberi kesempatan lebih banyak mengulang pelajaran akan menimbulkan minat dan motivasi belajar yang lebih tinggi. Siswa yang diberikan materi pelajaran namun kurang diberi kesempatan untuk mengulang dan mengingatnya, akan cenderung menilai pelajaran tersebut kurang menarik dan menurunkan hasrat untuk belajar. Proses pengulangan dapat divariasikan oleh guru melalui tugas-tugas latihan yang mempertajam ingatan dan pemahaman siswa mengenai materi tersebut.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa untuk dapat menunjukkan prestasi belajar yang tinggi, siswa perlu memiliki minat dan motivasi belajar yang tinggi. Minat dan motivasi belajar yang tinggi ditentukan oleh penggunaan metode yang bervariasi serta memberi kesempatan sebanyak mungkin untuk mengulang atau mengingat materi pelajaran tersebut.

Sumber:

Munthe et al (2022). Perbedaan Motivasi Belajar Dan Minat Belajar Antara Siswa Yang Belajar Daring Dan Luring Pada Pelajaran Bahasa Indonesia Di SMP Swasta Katolik Budi Murni 3 Medan. Journal of Education, Humanity, and Social Science (JEHSS). Vol 5 No 2 Tahun 2022

Qodri et al (2023). Perbedaan Minat Belajar dan Motivasi Belajar Ditinjau dari Penggunaan Metode Menghafal Alquran di Pondok Tahfidz Maskanul Huffaz di Bintaro.

Journal of Education, Humanity, and Social Science (JEHSS). Vol 5 No 3 Tahun 2023.

Pentingnya Keseimbangan Kehidupan Kerja Bagi Profesionalitas Karyawan

Seorang karyawan memilih menjadi bagian dari sebuah organisasi demi mencapai tujuan-tujuan pribadinya. Ada karyawan yang ingin mendapatkan manfaat finansial, ada yang mengharapkan pengalaman baru, ada pula yang ingin meraih status sosial yang tinggi saat memutuskan bergabung dengan perusahaan. Ada lagi karyawan yang ingin mendapat peluang menjadi bagian dari kelompok atau bertujuan menggunakan potensi yang dimiliki untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Tujuan-tujuan pribadi tersebut menentukan bagaimana karyawan menjalankan tugas dan menyelesaikan pekerjaannya. Semakin besar keinginan untuk memenuhi tujuan tersebut maka akan semakin besar kebutuhan untuk berhasil dalam pekerjaan yang ditekuni.

Bagi organisasi, tujuan-tujuan pribadi dari karyawannya tidaklah menjadi satu persoalan sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan organisasi. Perusahaan justru merasa mendapat keuntungan jika tujuan pribadi karyawan dapat selaras dengan tujuan organisasi. Kondisi tersebut menciptakan situasi yang saling menguntungkan antara karyawan dan perusahaan. karyawan yang memiliki tujuan pribadi yang jelas dan kuat akan mendorongnya bekerja dengan sungguh-sungguh dan berusaha menemukan jalan pemecahan untuk mengatasi hambatan dalam pekerjaanya. Ketika karyawan berhasil meraih tujuannya maka akan sekaligus menghasilkan konsekuensi tercapainya tujuan organisasi.

Terpenuhinya tujuan organisasi merupakan alasan sebuah organisasi didirikan. Suatu perusahaan memiliki visi misi dan tujuan yang ingin dicapai dengan sejumlah strategi yang ditetapkan. Karyawan sebagai aset perusahaan akan sangat menentukan keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuannya. Ketika karyawan bekerja sesuai dengan SOP yang ditetapkan dan menghasilkan output yang diharapkan maka besar kemungkinan perusahaan akan mencapai tujuan. Hasil pekerjaan yang ditunjukkan karyawan dapat berupa tingkat produksi yang dihasilkan, kualitas layanan kepada pelanggan, maupun profesionalitas dalam bekerja.

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil kerja karyawan, diantaranya adalah kepuasan kerja. Kepuasan kerja adalah penilaian subjektif karyawan dengan membandingkan antara ekspektasi dengan kenyataan yang diterima terkait aspek pekerjaan. Kepuasan karyawan mengenai upah, relasi dengan rekan, kepemimpinan dari atasan, serta kondisi lingkungan kerja akan ditentukan dari seberapa jauh kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Semakin kecil kesenjangan tersebut maka akan semakin tinggi tingkat kepuasan karyawan. Sebaliknya semakin lebar perbedaan antara apa yang diharapkan dengan apa yang diterima dari perusahaan maka akan menimbulkan ketidakpuasan.

Ketika karyawan merasakan puas terhadap apa yang ia terima dan dapatkan dari pekerjaan, maka akan muncul perilaku profesional dalam bekerja. Karyawan berusaha memenuhi standar dalam bekerja dan mencapai sasaran kerja yang ditetapkan dengan penuh kesungguhan. Sebaliknya karyawan yang merasa tidak puas dengan penghasilannya, atau kecewa terhadap atasan, memiliki hubungan kurang harmonis dengan rekan, atau lingkungan kerja yang kurang mendukung, maka karyawan akan terdorong untuk bekerja secara asal-asalan dan tidak berusaha memberikan yang terbaik bagi perusahaan.

Kepuasan karyawan sendiri terbentuk oleh sejumlah faktor yang bersumber dari dalam diri karyawan. Diantaranya adalah keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan (work life balance atau disingkat WLB). WLB merupakan kondisi ketika kehidupan bekerja berinteraksi dengan pekerjaan. Hasilnya, pekerjaan dapat mengganggu kehidupan pribadi atau dapat pula memperkaya kehidupan karyawan. Sebaliknya kehidupan pribadi pun dapat mengganggu pekerjaan namun dapat pula justru mendukung kemampuan karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan. Semakin tinggi WLB maka semakin karyawan dapat memperkaya kehidupannya dengan pekerjaan atau sebaliknya pekerjaan akan memperkaya kehidupan pribadinya. Semakin rendah WLB maka antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, satu dengan yang lain saling mengganggu.

Karyawan yang merasa pengalaman kerjanya dapat meningkatkan kualitas kehidupan pribadinya, akan merasa lebih puas dengan aspek-aspek dalam kehidupan kerjanya. Kepuasan yang tinggi tersebut selanjutnya akan mendorongnya berperilaku profesional. Sebaliknya, ketika seorang karyawan merasa beban kerjanya justru memperburuk kualitas hubungannya dengan keluarga atau teman, maka ia akan merasa kurang puas dengan apa yang ia dapatkan dalam pekerjaan. Kondisi ini membuatnya bekerja dengan sikap dan cara yang buruk. Demikian pula ketika karyawan merasa kehidupan pribadinya mendukung pekerjaannya, ia akan merasa lebih puas dengan yang ia dapatkan dari pekerjaan sehingga sikap kerja dan cara kerjanya lebih baik. Namun jika karyawan merasa kehidupan pribadinya mengacaukan pekerjaanya, ia akan merasa tidak mendapatkan apa yang ia harapkan sehingga menurunkan profesionalitasnya dalam bekerja.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemampuan karyawan dalam menjaga keseimbangan kehidupan dengan pekerjaannya akan menentukan tingginya tingkat kepuasan kerjanya. Kepuasan kerja tersebut kemudian berdampak pada profesionalitasnya  yang tinggi dalam menjalankan tugas. Keseimbangan kehidupan kerja menentukan tingkat profesionalitas kerja karyawan melalui perantara tingkat kepuasan kerja.

Kata kunci: karyawan, kepuasan kerja, profesionalitas kerja, work-life balance

Sumber: Harahap, SW; Lubis, R & Turnip, K. (2022). Pengaruh Work-Life Balance terhadap Profesionalitas Kerja Melalui Mediasi Kepuasan Kerja pada ASN di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan. Jurnal Mukadimah. Vol 7 No 1, Februari 2023.p. 190- 198 Universitas Medan Area.

Pentingnya Karakter Positif bagi Keberhasilan Studi Mahasiswa

Mahasiswa merupakan individu yang berada dalam tahap perkembangan remaja. Secara psikologis, remaja memiliki tugas perkembangan untuk menerima fisik dan identitas seksualnya, membangun relasi sosial dengan lingkungan, mempersiapkan diri untuk sebuah pernikahan, mempersiapkan kemandirian finansisal, dan memiliki minat tertentu yang akan ditekuni di masa depan. Tugas perkembangan ini didukungan oleh kondisi fisik remaja yang berkembang dengan sangat pesat. Aktifnya hormon seksual memicu pertumbuhan fisik dan memberi pengaruh terhadap kondisi emosi dan sosial remaja. Remaja mulai tertarik dengan lawan jenis dan lebih melekat kepada teman sebaya dibandingkan orangtua. Remaja juga menjadi lebih emosional dan mudah berubah suasana emosinya. Perkembangan otak juga mendorong kemampuan kognitif menjadi lebih mirip orang dewasa. Remaja mampu berpikir kritis, memahami hal-hal yang abstrak serta berpikir hipotetis. Remaja semakin sadar akan dirinya dan membangun identitas pribadi. Secara moral remaja berusaha mematuhi aturan sebagai komitmen dan tanggung jawabnya terhadap norma yang ada.

Kondisi psikologis yang demikian, mendukung remaja untuk menjalani pendidikan demi membangun masa depan. Masa remaja sebagian besar dihabiskan dengan menempuh pendidikan di lembaga formal sesuai dengan minat dan bakatnya. Proses pendidikan yang dijalani di perguruan tinggi menuntut mahasiswa menunjukkan prestasi akademis yang baik. Masa studi yang ditetapkan diharapkan dapat diselesaikan mahasiswa dengan prestasi yang memadai. Selama duduk di bangku kuliah, mahasiswa mendapatkan pengetahuan, memiliki sikap, dan memperoleh keterampilan yang sasaran pembelajaran di program studi yang ditempuh. Hasil belajar tersebut dicapai melalui kegiatan perkuliahan di kelas, menyelesaikan sejumlah tugas, berpartisipasi dalam kegiatan yang telah dipersiapkan pihak kampus, termasuk menyelesaikan tugas akhir yang menjadi syarat kelulusan.

Dalam menyelesaikan tugas akhir yang disebut sebagai skripsi, mahasiswa harus berinteraksi dalam waktu lama dengan dosen pembimbing yang ditetapkan. Interaksi tersebut berbentuk pertemuan antara mahasiswa dan pembimbing untuk mendiskusikan penyusunan dan penyelesaian skripsi. Proses bimbingan memakan waktu cukup panjang antara 1 hingga 3 semester atau bahkan lebih.  Lamanya penyelesaian skripsi sangat ditentukan dari kuantitas dan kualitas hasil bimbingan yang dicapai. Semakin sering dan berkualitas proses bimbingan maka tugas akhir biasanya akan lebih cepat selesai. Sebaliknya semakin jarang dan semakin rendah kualitas bimbingan yang diterima mahasiswa maka akan lebih lambat penyelesaian skripsi tersebut. Dan semakin lama penyelesaian tugas akhir mengindikasikan rendahnya kualitas hubungan mahasiswa dengan dosen pembimbing. Dengan kata lain, mahasiswa yang kurang puas dengan hubungannya dengan dosen pembimbing biasanya akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan skripsinya.

Rendahnya tingkat kepuasan mahasiswa terhadap hubungannya dengan pembimbing dapat disebabkan karena tidak diperolehnya apa yang menjadi kebutuhan dalam penyelesaian skripsi. Misalnya kurangnya informasi dari pembimbing, sulitnya menyepakati jadwal pertemuan, sulitnya memahami masukan yang diberikan, atau kurang sejalannya pemikiran antara dosen dan mahasiswa. Masalah di atas mengakibatkan mahasiswa sulit memenuhi tuntutan akademiknya atau kurang mampu menunjukkan hasil pekerjaan yang diharapkan oleh pembimbing. Jika hal ini terjadi, mahasiswa sulit mendapatkan dukungan atau persetujuan untuk melangkah ke tahap penyelesaian berikutnya.

Faktor apa yang dapat menyebabkan mahasiswa sulit mendapatkan persetujuan dari dosen pembimbing? Salah satu faktornya adalah karakter kepribadian yang dimiliki. Sebagaimana diketahui bahwa interaksi mahasiswa dengan dosen pembimbing merupakan interaksi sosial yang bersifat timbal balik. Kedua belah pihak dapat mempengaruhi pihak lain dan sebaliknya pihak lain dapat mempengaruhi perilaku pihak lainnya. Sikap dosen yang kurang memberikan dukungan kepada mahasiswa baik berupa informasi, nasehat, memberikan rasa nyaman, memberi solusi maupun menyediakan waktu yang memadai, bisa jadi disebabkan karena perilaku mahasiswa yang tidak diharapkan. Mahasiswa yang memiliki karakter optimis dan bersikap prososial umumnya lebih disukai oleh dosen. Mahasiswa yang optimis akan bersikap pantang menyerah dan akan terus berusaha memberikan hasil kerja yang terbaik meskipun menghadapi kesulitan.

Demikian pula mahasiswa yang senang membantu dan mendahulukan kepentingan orang lain akan mendorong dosen untuk lebih memberi dukungan. hal ini disebabkan karena mahasiswa tersebut akan cenderung mengalah, tidak memaksakan kehendak, dan lebih mengutamakan kenyamanan dosennya. Sebaliknya mahasiswa juga prososialnya rendah akan cenderung memaksaakan keinginan dan berfokus pada kepentingannya pribadi. Sikap demikian akan menimbulkan konflik dan ketidaknyamanan pada dosen pembimbing. Hal lain yang dimiliki mahasiswa adalah sistem penguat terhadap perilaku positifnya. Jika dosen memberikan umpan balik terhadap hal-hal yang ia lakukan dengan benar, mahasiswa akan semakin produktif dalam mengerjakan tugasnya. Semakin sering dosen memberikan tanggapan positif, semakin mahasiswa menunjukkan kinerja akademis yang tinggi.

Dapat dikatakan bahwa mahasiswa  yang optimis, senang membantu, dan mendapatkan penguatan positif akan mendorong dosen untuk memberikan apa yang menjadi kebutuhannya dalam menyelesaikan tugas akhir. Semakin mahasiswa menunjukkan karakter positif maka semakin dosen memberi dukungan dan persetujuan. Dengan dukugan dan persetujuan dosen pembimbing, mahasiswa akan lebih cepat dan lebih mampu menyelesaikan studinya dengan tepat waktu.

Kata Kunci: karakter, kampus, mahasiswa, relasi dosen-mahasiswa

Sumber: Lubis, R. & Hasanuddin. (2022). The Role of Positive Youth Development as a Mediator of the Relationship between Family Function and Lecturer-Student Relationship. Psymphatic: Jurnal Ilmiah Psikologi. Vol 10: 1, Juni 2023; p. 29- 38

Dukungan Keluarga untuk Kesehatan Mental Pekerja

Seorang pekerja melakukan tugas-tugas yang diberikan oleh perusahaan sesuai dengan kewajiban dan wewenang yang ditetapkan. Dalam menjalankan tugas, para pekerja menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan atau tantangan yang perlu diatasi. Misalnya kurang tersedianya informasi untuk menuntaskan pekerjaan, perlengkapan kerja yang terbatas, instruksi kerja yang tidak jelas dari pimpinan, komunikasi dengan rekan yang kurang lancar, atau beban kerja yang sangat banyak. Masalah-masalah tersebut membutuhkan sejumlah kemampuan dari dalam diri pekerja seperti identifikasi masalah, daya analisa masalah, pengambilan keputusan, keterampilan interpersonal, stabilitas emosi, kepercayaan diri, kepemimpinan, ataupun kesiapan dalam menghadapi perubahan. Semua itu merupakan faktor pendukung yang bersumber dari dalam diri yang perlu dimiliki oleh pekerja. Pekerja yang memiliki kapasitas tersebut akan merasa lebih mudah mengatasi tantangan dalam pekerjaannya. Namun pekerja yang kurang memiliki sumber daya tersebut akan lebih sulit menemukan jalan keluar.

Sumber daya personal bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan pekerja dalam menunjukkan kinerja yang baik. Sumber daya yang berasal dari lingkungan juga sangat mempengaruhi produktivitas dan kesehatan mental pekerja. Lingkungan dapat berarti rekan kerja, atasan, bawahan, pelanggan, atau keluarga. Orang-orang yang berada di lingkungan kerja akan memberi pengaruh langsung kepada pekerja dalam memecahkan masalah pekerjaannya. Sedangkan keluarga merupakan pihak yang meskipun mempengaruhi secara tidak langsung namun memiliki peran yang sangat menentukan. Keluarga dapat berarti pasangan (suami atau istri), anak-anak, orangtua, atau saudara kandung. Keluarga berperan memberi dukungan kepada pekerja dalam berbagai bentuk. Misalnya dukungan informasi, emosional, instrumental dan pendampingan. Dukungan informasi berarti keluarga membantu pekerja memberikan informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Misalnya saran, nasehat dan umpan balik terhadap kinerja atau perilaku yang ditunjukkan pekerja. Dukungan emosional berarti dukungan yang bertujuan memberi rasa tenang, rasa aman dan meningkatkan kepercayaan diri pekerja atas apa yang dialaminya. Misalnya menenangkan saat mengalami kegagalan atau memberi penguatan atas apa yang telah dilakukan. Dukungan instrumental dapat berupa fasilitas atau material yang dibutuhkan pekerja dalam menjalankan tugasnya. Misalnya uang, alat yang digunakan untuk bekerja, memberikan tumpangan, dan sebagainya. Dukungan pendampingan berarti adalah kesediaan keluarga untuk menemani atau menghabiskan waktu bersama pekerja di luar jam kerja. Misalnya mengisi waktu luang bersama, menemani ke suatu tempat untuk berlibur dan sebagainya.

Dukungan seperti yang disampaikan di atas sangat berharga bagi pekerja untuk dapat meringankan beban dalam bekerja. Dengan dukungan yang diterima dari keluarga pekerja mendapatkan bantuan untuk memecahkan masalah, mampu mengelola emosi dan mengambil keputusan yang rasional dan tepat, serta memiliki sarana untuk menjalankan tugas sesuai dengan yang diharapkan. Dukungan dari keluarga dapat menurunkan tingkat stres, mengatasi kecemasan, meningkatkan efektivitas kerja, meningkatkan kepuasan kerja, serta meningkatkan keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan pada pekerjaan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dukungan keluarga dapat meningkatkan kesehatan mental pekerja.

Untuk meningkatkan kesehatan mental para pekerja, disarankan kepada perusahaan agar memberi perhatian pada kualitas kehidupan keluarga karyawannnya. Dapat dilakukan dengan memberikan edukasi pada keluarga untuk lebih memberikan dukunggan kepada karyawan, menyelenggarakan kegiatan family gathering, dan memfasilitasi karyawan untuk memberikan perhatian pada keluarganya. Kepada karyawan dapat disarankan untuk lebih terbuka dalam meminta dukungan kepada keluarga. Hal ini dapat dilakukan dengan bersikap lebih terbuka dalam menyampaikan kebutuhan pada keluarga dan meningkatkan kualitas hubungan dengan anggota keluarga.

Kata kunci: karyawan, dukungan keluarga, stres kerja, work-life balance

Sumber: Fatimah, P., Pasaribu, S.E. & Lubis, R. (2022). Pengaruh Dukungan Keluarga dan Stres Kerja terhadap Work-Life Balance pada Tenaga Kesehatan Keperawatan Wanita di RS kota Medan. Journal of Education, Humaniora and Social Science. Vol 5. NO 2.

Knowledge Transfer – Meaning, Barriers and its Characteristics

Introduction

Organizations indulge nowadays in alliances, collaborations and partnerships. All this require transfer of knowledge, especially, knowledge related to strategies, technologies and best practices to improve the network cooperation. Research studies attempt to obtain inferences from these transfer processes so as to understand more about the characteristics of knowledge transfer.

Barriers to Knowledge Transfer

To understand more about knowledge transfer, it is essential to know about the barriers to transferring best practices in an organization. There is a need to develop a model for the process in which knowledge is transferred, and the obstacles in the different stages of the process can be studied. The critical hurdles to knowledge transfer are as below:

  • Receiver of the knowledge has shortage of absorptive capacity
  • Characteristics of the knowledge being handed over
  • Rapport between informers and receivers

Characteristics of Knowledge Transfer

The speed with which the transfer of knowledge takes place is also important since it has to reach the recipient at the correct time and within acceptable cost. Knowledge received late and at an extra cost will not bring any benefit to the organization. It seems that the speed of the knowledge transfer will depend on the tacit nature of the knowledge. The tacit nature of the knowledge is fundamentally dependant upon two factors:

  • First of all, the knowledge has to be codifiable.
  • Secondly, it should be teachable.

If these are possible, the transfer of knowledge will take place speedily.

It is also seen that the communication and the frequency of discussions between knowledge source and recipient are important factors of knowledge transfer. In addition, the type of knowledge transferred is also significant. The knowledge can be related to business, project or technology. The recipient has to be capable enough in the respective field to have the knowledge successfully imparted.

Knowledge Stickiness

Consider an instance of building a new system. Knowledge transfer can be visualised as consisting of a source which can be a system user and a receiver who is the system builder. The difficulty faced in the process of knowledge transfer is called knowledge stickiness. A methodical and concentrated inspection of the aspects which result in stickiness while systems are built, will be useful to handle the issues that come up as a result of shortage of needed knowledge transfer among the user and the builder. The level of stickiness during the knowledge transfer process depends on the following factors:

  • The character of knowledge
  • The features of sources and receivers
  • The character of the association grown between sources and receivers

While knowledge transfer is taking place, the above three aspects, scheme together for triggering stickiness. It is important to handle stickiness carefully to enhance the process of knowledge transfer.

Hersey Blanchard Model

According to this model, the leader has to match the leadership style according to the readiness of subordinates which moves in stage and has a cycle. Therefore, this theory is also known as the life-cycle theory of leadership.

The theory, developed by Paul Hersey and Kenneth Blanchard, is based on the ’readiness’ level of the people the leader is attempting to influence. Readiness is the extent to which followers have the ability and willingness to accomplish a specific task. Ability is the knowledge, experience, and skill that an individual possesses to do the job and is called job readiness. Willingness is the motivation and commitment required to accomplish a given task. The style of leadership depends on the level of readiness of the followers.